Pages

Tantangan Pendidikan Islam di Era Globalisasi

Teknologi modern telah memungkinkan terciptanya komunikasi bebas lintas benua, lintas negara, menerobos berbagai pelosok perkampungan di pedesaan dan menyelusup di gang-gang sempit di perkotaan, melalui media audio (radio) dan audio visual (televisi, internet, dan lain-lain). Fenomena modern yang terjadi di awal milenium ketiga ini popular dengan sebutan globalisasi.

Sebagai akibatnya, media ini, khususnya televisi, dapat dijadikan alat yang sangat ampuh di tangan sekelompok orang atau golongan untuk menanamkan atau, sebaliknya, merusak nilai-nilai moral, untuk mempengaruhi atau mengontrol pola fikir seseorang oleh mereka yang mempunyai kekuasaan terhadap media tersebut. Persoalan sebenarnya terletak pada mereka yang menguasai komunikasi global tersebut memiliki perbedaan perspektif yang ekstrim dengan Islam dalam memberikan criteria nilai-nilai moral; antara nilai baik dan buruk, antara kebenaran sejati dan yang artifisial.Di sisi lain era kontemporer identik dengan era sains dan teknologi, yang pengembangannya tidak terlepas dari studi kritis dan riset yang tidak kenal henti. Dengan semangat yang tak pernah padam ini para saintis telah memberikan kontribusi yang besar kepada keseejahteraan umat manusia di samping kepada sains itu sendiri. Hal ini sesuai dengan identifikasi para saintis sebagai pecinta kebenaran dan pencarian untuk kebaikan seluruh umat manusia. Akan tetapi, sekali lagi, dengan perbedaan perspektif terhadap nilai-nilai etika dan moralitas agama, jargon saintis sebagai pencari kebenaran tampaknya perlu dipertanyakan. Apalagi bila dilihat data-data beriktu:
Di pusat riset Porton Down di Inggris para saintis memakai binatang-binatang yang masih hidup untuk menguji coba baju anti peluru. Hewan-hewan tersebut dimasukkan ke dalam troli yang kemudian diledakkan. Pada awalnya, monyet yang dipakai dalam berbagai eksperimen tetapi para saintis kemudian menggantinya dengan babi. Binatang-binatang tersebut ditembak persis di atas mata untuk meneliti efek daripada misil berkecepatan tinggi pada jaringan otak.

Di Amerika Serikat, di akhir tahun 40-an, anak-anak remaja diberi sarapan yang dicampuri radioaktif, ibu-ibu setengah baya disuntik dengan plutonium radioaktif dan biji kemaluan para tahanan disuntik radiasi – semua atas nama sains, kemajuan dan keamanan. Eksperimen-eksperimen ini diadakan sejak tahun 1940-an sampai 1970-an (Brown, 1994).

Selama tahun 1950-an, 60-an dan 70-an, menurut New York Times, wajib bagi seluruh mahasiswa baru, laki-laki dan perempuan, di Harvard, Yale dan universitas-universitas elit lain di Amerika, difoto telanjang untuk sebuah proyek besar yang didisain dalam rangka untuk menunjukkan bahwa ‘tubuh seseorang’ yang diukur dan dianalisa, dapat bercerita banyak tentang intelegensia, watak, nilai moral dan kemungkinan pencapaiannya di masa depan. Ide ini berasal dari pendiri Darwinisime Sosial, Francis Galton, yang mengajukan foto-foto arsip tersebut untuk dewan kependudukan Inggris. Sejak awal tujuan dari pemotretan-pemotretan ini adalah egenetika. Data-data yang terakumulasi akan dipakai sebagai proposal untuk ‘mengontrol dan membatasi produksi organisme dari orang-orang yang inferior dan tidak berguna’. Beberapa organisme tipe terakhir ini akan dikenakan sangsi bila melakukan reproduksi … atau akan disteril (Rosenbaum, 1995).

Sementara itu media televisi, sebagai hasil pencapaian teknologi modern yang paling luas jangkauannya memiliki dampak sosio-psikologis sangat kuat pada pemirsanya. Beberapa hasil studi berhasil menguak hubungan antara menonton televisi dengan sikap agresif (Huismon & Eron, 1986; Wiegman, Kuttschreuter & Baarda, 1992), dengan sikap anti social (Hagell & Newburn, 1996), dengan sikap aktifitas santai (Selnon & Reynolds, 1984), dengan kecenderungan gaya hidup (Henry & Patrick, 1977), dengan sikap rasial (Zeckerman, Singer &Singer, 1980), kecenderungan atas preferensi seksual (Silverman – Watkins & Sprafkin, 1983), kesadaran akan daya tarik seksual (Tan, 1979), stereotype peran seksual (Durkin, 1985), dengan bunuh diri (Gould & Shaffer, 1986), identifikasi diri dengan karakter-karakter di televisi (Shaheen, 1983).


Hasil-hasil studi yang lain tentang dampak-dampak televisi menunjukkan indikasi yang cenderung ‘agak menggembirakan’. Seperti adanya kesadaran akan segala peristiwa yang terjadi di seluruh dunia (Cairn, 1990), kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara (Conway, Steven & Smith, 1975), bertambhanya pengetahuan akan geografi (Earl & Pasternack, 1991), meningkatnya pengetahuan tentang masalah politik (Furnham & Gunter, 1983), bersikap pro social (Gunter, 1984).

Tetapi perlu dicatat bahwa sejak munculnyaera televisi dibarengi dengan timbulnya berpuluh-puluh channel dengan menawarkan berbagai acara-acara yang menarik dan bervariasi, umat Islam hanya berperan sebagai konsumen, orang Barat-lah (baca, non-Muslim) yang memegang kendali semua teknologi modern tak terkecuali televisi. Dari sini beberapa permasalahan, khususnya yang berkaitan dengan pendidikan Islam, mencuat ke permukaan. Pertama, apa langkah yang harus ditempuh oleh setiap Muslim, orang tua dan para pendidik, dalam upaya mengantisipasi dan merespon sejak dini gejala-gejala distorsi moral yang adiakibatkan oleh media televisi, internet dan media-media audio visual lainnya?

Kedua, bahwa Barat merupakan satu-satunya pemegang peran kunci dari seluruh media berita baik media cetak, maupun media elektronik. Seperti dimaklumi pemberitaan-pemberitaan tersebut banyak mengandung bias, khususnya bila ada kaitan langsung atau tidak langsung dengan dunia Islam. Ketiga, sains dan teknologi menjadi dominasi khusus dunia Barat (Young, 1077), dengan demikian setiap Muslim yang berminat mendalami bidang-bidang ini harus mengikuti term-term yang ditentukan oleh Barat, yang tidak jarang bertentangan dengan nilai-nilai Islami. Sehingga dalam beberapa kasus sering terjadi para saintis Muslim, secara sadar atau tidak, tercerabut dari akar-akar keislaman, dan menjadi pembela fanatik Barat.

Dalam tulisan berikut konsep pendidikan Islam yang ditawarkan meliputi dua tahap, jangka pendek dan jangka panjang. Yang pertama melibatkan pertisipasi setiap individu Muslim, sedang yang kedua mencakup keterlibatan institusi, lembaga dan bahkan negara.

Diversifikasi Konsep Pendidikan Islam

Ahmed (1990) mendefinisikan pendidikan sebagai “suatu usaha yang dilakukan individu-individu dan masyarakat untuk mentransmisikan nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan dan bentuk-bentuk ideal kehidupan mereka kepada generasi muda untuk membantu mereka dalam meneruskan aktifitas kehidupan secara efektif dan berhasil.”

Khan (1986) mendefinisikan maksud dan tujuan pendidikan Islam sebagai berikut:

Demokrasi Dapat Terwujud, Tapi Hanya Bila Kaum Demokrat Indonesia Menghadapi Tantangan Kaum Elit

Olle Törnquist
Makna demokrasi yang diterima secara umum adalah kendali rakyat terhadap urusan2 publik dengan berlandaskan hak-hak politik yang sama [political equality]. Sejauh apa Indonesia bergerak menuju cita-cita ini? Dan sejauh apa ia akan melangkah? Dengan kata lain: sebesar apa oligarki lama era-Suharto masih bertahan, masih memerintah, namun melakukannya via pemilihan demokratis yang formal? 

Terdapat dua jenis jawaban yang dominan dan cukup ekstrim terhadap pertanyaan2 di atas. Pertama berasal dari para 'perancang'. Bermula dari 'gelombang ketiga' demokrasi global, sejak 1970an ke atas, beberapa akademisi dan praktisi yang peduli meletakkan keyakinan mereka dalam perancangan sejumlah terbatas institusi. Institusi2 tersebut berurusan dengan kebebasan sipil dan politik, negara hukum, pemilihan bebas dan adil, dan 'tata kelola pemerintahan yang baik' [good governance]. Perbaiki institusinya hingga benar, sebagaimana diyakini beberapa pihak, maka demokrasi akan tumbuh subur.

Dalam pandangan para 'perancang' ini - yang kebanyakan ditemukan dalam agen-agen internasional untuk pembangunan demokrasi seperti National Democratic Institute dan International IDEA - institusi2 Indonesia saat ini berjalan dengan baik. Mereka mengakui bahwa sistem yang ada tidak dengan baik mewakili kebutuhan riil rakyat biasa, tapi mereka meyakini bahwa problem ini juga dapat diperbaiki melalui rancangan institusional yang lebih baik. Langkah-langkah yang mereka usulkan antara lain adalah pemilihan eksekutif pemerintahan secara lebih langsung, dan 'menyederhanakan' sistem partai politik. Yang terakhir akan menghasilkan segelintir partai-partai besar yang meskipun masih elitis setidaknya akan mampu mengembangkan kebijakan, 'menjemput' tuntutan dari masyarakat, merekrut orang untuk posisi-posisi pemerintahan dan mengawasi eksekutif. Para perancang berpikir bahwa perwakilan rakyat dari bawah tidaklah realistis. Dalam pandangan mereka, 'pendalaman demokrasi' justru dibatasi pada partisipasi langsung oleh 'warga yang bertanggung-jawab' dalam masyarakat sipil, sayangnya dengan mengecualikan 'massa'.
Jawaban kedua berasal dari para 'strukturalis' baik di kiri dan kanan spektrum politik. Lebih pesimis dibandingkan para perancang, mereka mengatakan bahwa kondisi2 struktural tidak memungkinkan demokrasi yang layak. Sebagai hasilnya, kaum oligarki mempertahankan kekuasaan mereka; dan rakyat biasa, mempertahankan kemiskinan mereka. Menurut beberapa strukturalis, kebebasan dan pemilihan hanya menghasilkan politik identitas yang lebih buruk, konflik dan korupsi, dan berkurangnya pertumbuhan ekonomi. Maka mayoritas kaum kiri berfokus pada perlawanan terhadap neo-liberalisme global (dengan mengatakan bahwa itu menghambat demokrasi yang riil). Di pihak kanan, muncul tesis internasional baru: bahwa elit2 yang tercerahkan harus 'menahapkan demokrasi' dengan pertama-tama membangun institusi2 yang solid, 'tata kelola pemerintahan yang baik', pertumbuhan organisasi aliansi dan warga, sebelum mempercayakan kebebasan sepenuhnya pada massa. Posisi yang terakhir ini semakin terangkat, contohnya di banyak kementrian luar negeri, think tank konservatif dan badan-badan pembangunan seperti Bank Dunia.

Proses
Kedua argumen ini secara teoretis dan politik meragukan. Yang pertama berasumsikan bahwa ketika kaum elit sepakat mendirikan sejumlah kecil institusi2 demokratik, maka demokrasi telah tercapai. Ini tentunya sama naifnya dengan mengatakan bahwa institusi dasar kapitalis atau sosialis akan selalu menghasilkan kesejahteraan. Namun, kebanyakan kaum perancang setidaknya masih meyakini demokrasi. Ini jarang ditemukan di antara kaum strukturalis. Mereka menekankan bahwa demokrasi jadi bermakna hanya bila beberapa persyaratan telah terpenuhi: bagi kaum kiri, ini biasanya berarti persamaan sosial dan ekonomi yang lebih besar, buruh atau kaum miskin memiliki daya tawar yang kuat, dan semacamnya; bagi kaum kanan, ini berarti institusi2 yang kuat, tata kelola pemerintahan yang baik, asosiasi warga2 yang 'bertanggung-jawab' dan pertumbuhan ekonomi. Akibatnya, kaum strukturalis secara definisi mencoret kemungkinan penciptaan kondisi2 tersebut melalui perbaikan demokrasi. Sebaliknya, mereka menjadi pesimis dengan janji demokrasi, atau bahkan berargumen bahwa itu harus dibatasi atau ditunda.

Penegakan Hukum, Tantangan Demokrasi Indonesia

"Kalian sudah menerapkan demokrasi. Kalian memiliki tantangan seperti yang kami hadapi. Saya rasa kalian menghadapi tantangan, terutama di penegakan hukum, bagaimana hukum diterapkan," tuturnya usai kuliah umum bertajuk "Democracy and Pluralism: Lesson Learn From The United States of Amerika" di Universitas Atmajaya, Jakarta, Kamis (11/3/2010).

Sebelumnya, dalam kuliah umum selama kurang dari satu jam itu, Hume menjelaskan penerapan demokrasi di Indonesia berkarakter karena budaya yang sangat kental, seperti saling hormat-menghormati satu sama lain. Ini tercerminkan pula dalam sistem hukum yang berlaku.

Namun lebih lanjut, Hume enggan berkomentar ketika diminta masukannya terhadap penerapan demokrasi di Indonesia ke depannya. "Saya tidak tahu bagaimana kami memberi saran sampai kalian melaksanakan demokrasi sendiri. Kalian berikan pendidikan yang lebih baik, diskusikan hal ini dan selesaikan sendiri. Saya rasa tidak selayaknya orang asing memberi tahu apa yang harus kalian lakukan,"