Pages

Demokrasi Dapat Terwujud, Tapi Hanya Bila Kaum Demokrat Indonesia Menghadapi Tantangan Kaum Elit

Olle Törnquist
Makna demokrasi yang diterima secara umum adalah kendali rakyat terhadap urusan2 publik dengan berlandaskan hak-hak politik yang sama [political equality]. Sejauh apa Indonesia bergerak menuju cita-cita ini? Dan sejauh apa ia akan melangkah? Dengan kata lain: sebesar apa oligarki lama era-Suharto masih bertahan, masih memerintah, namun melakukannya via pemilihan demokratis yang formal? 

Terdapat dua jenis jawaban yang dominan dan cukup ekstrim terhadap pertanyaan2 di atas. Pertama berasal dari para 'perancang'. Bermula dari 'gelombang ketiga' demokrasi global, sejak 1970an ke atas, beberapa akademisi dan praktisi yang peduli meletakkan keyakinan mereka dalam perancangan sejumlah terbatas institusi. Institusi2 tersebut berurusan dengan kebebasan sipil dan politik, negara hukum, pemilihan bebas dan adil, dan 'tata kelola pemerintahan yang baik' [good governance]. Perbaiki institusinya hingga benar, sebagaimana diyakini beberapa pihak, maka demokrasi akan tumbuh subur.

Dalam pandangan para 'perancang' ini - yang kebanyakan ditemukan dalam agen-agen internasional untuk pembangunan demokrasi seperti National Democratic Institute dan International IDEA - institusi2 Indonesia saat ini berjalan dengan baik. Mereka mengakui bahwa sistem yang ada tidak dengan baik mewakili kebutuhan riil rakyat biasa, tapi mereka meyakini bahwa problem ini juga dapat diperbaiki melalui rancangan institusional yang lebih baik. Langkah-langkah yang mereka usulkan antara lain adalah pemilihan eksekutif pemerintahan secara lebih langsung, dan 'menyederhanakan' sistem partai politik. Yang terakhir akan menghasilkan segelintir partai-partai besar yang meskipun masih elitis setidaknya akan mampu mengembangkan kebijakan, 'menjemput' tuntutan dari masyarakat, merekrut orang untuk posisi-posisi pemerintahan dan mengawasi eksekutif. Para perancang berpikir bahwa perwakilan rakyat dari bawah tidaklah realistis. Dalam pandangan mereka, 'pendalaman demokrasi' justru dibatasi pada partisipasi langsung oleh 'warga yang bertanggung-jawab' dalam masyarakat sipil, sayangnya dengan mengecualikan 'massa'.
Jawaban kedua berasal dari para 'strukturalis' baik di kiri dan kanan spektrum politik. Lebih pesimis dibandingkan para perancang, mereka mengatakan bahwa kondisi2 struktural tidak memungkinkan demokrasi yang layak. Sebagai hasilnya, kaum oligarki mempertahankan kekuasaan mereka; dan rakyat biasa, mempertahankan kemiskinan mereka. Menurut beberapa strukturalis, kebebasan dan pemilihan hanya menghasilkan politik identitas yang lebih buruk, konflik dan korupsi, dan berkurangnya pertumbuhan ekonomi. Maka mayoritas kaum kiri berfokus pada perlawanan terhadap neo-liberalisme global (dengan mengatakan bahwa itu menghambat demokrasi yang riil). Di pihak kanan, muncul tesis internasional baru: bahwa elit2 yang tercerahkan harus 'menahapkan demokrasi' dengan pertama-tama membangun institusi2 yang solid, 'tata kelola pemerintahan yang baik', pertumbuhan organisasi aliansi dan warga, sebelum mempercayakan kebebasan sepenuhnya pada massa. Posisi yang terakhir ini semakin terangkat, contohnya di banyak kementrian luar negeri, think tank konservatif dan badan-badan pembangunan seperti Bank Dunia.

Proses
Kedua argumen ini secara teoretis dan politik meragukan. Yang pertama berasumsikan bahwa ketika kaum elit sepakat mendirikan sejumlah kecil institusi2 demokratik, maka demokrasi telah tercapai. Ini tentunya sama naifnya dengan mengatakan bahwa institusi dasar kapitalis atau sosialis akan selalu menghasilkan kesejahteraan. Namun, kebanyakan kaum perancang setidaknya masih meyakini demokrasi. Ini jarang ditemukan di antara kaum strukturalis. Mereka menekankan bahwa demokrasi jadi bermakna hanya bila beberapa persyaratan telah terpenuhi: bagi kaum kiri, ini biasanya berarti persamaan sosial dan ekonomi yang lebih besar, buruh atau kaum miskin memiliki daya tawar yang kuat, dan semacamnya; bagi kaum kanan, ini berarti institusi2 yang kuat, tata kelola pemerintahan yang baik, asosiasi warga2 yang 'bertanggung-jawab' dan pertumbuhan ekonomi. Akibatnya, kaum strukturalis secara definisi mencoret kemungkinan penciptaan kondisi2 tersebut melalui perbaikan demokrasi. Sebaliknya, mereka menjadi pesimis dengan janji demokrasi, atau bahkan berargumen bahwa itu harus dibatasi atau ditunda.


Di antara kedua ekstrim di atas - satu merekayasa institusi elit, satunya lagi menanti perubahan sosial yang massif - demokrasi dapat dipahami sebagai suatu proses, dengan keterlibatan banyak faktor dan aktor. Kerangka kerja bagi analisa semacam ini telah dikembangkan dan diterapkan dalam dua survey nasional tentang demokrasi Indonesia, pertama pada 2003-2004, kedua pada 2007. Demos, sebuah organisasi penggalakan demokrasi berbasiskan penelitian yang bekerjasama dengan Universitas Oslo dan Gajah Mada, dua kali menanyakan 900 individu senior pengkampanye-cum-ahli dalam hal demokratisasi dari semua provinsi tentang sejauh apa para aktor dan perangkat demokrasi yang ada di Indonesia sungguh-sungguh mendukung tujuan-tujuan demokrasi yang diterima secara universal. Kombinasi hasil dari kedua survey itu, yang akan segera diterbitkan, menjelaskan bahwa argumen2 ekstrim institusionalis dan strukturalis adalah salah, tidak sekedar secara teoretis melainkan juga empiris.

Kesimpulan pertama dari survey ini adalah meskipun secara mengejutkan banyak hak-hak sipil dan politik yang ditegakkan, kemajuan2 ini sedemikian rupa memburuk sejak 2003-04. Para informan mengatakan bahwa kebebasan beragama dan budaya, dan berorganisasi dan berbicara, sekali lagi sedang terancam. Kesimpulan kedua adalah sejak 2003-04 terjadi perbaikan secara umum dalam upaya2 dari atas-ke-bawah [top-down] oleh institusi pemerintah untuk memperbaiki kinerja buruk negara hukum [rule of law], terutama pengendalian korupsi. Ketiga, disintegrasi Orde Baru yang sentralistik tidak menyebabkan balkanisasi yang dikarakterkan oleh separatisme dan pembersihan etnis dan relijius. Yang sebaliknya berkembang adalah komunitas politik kesatuan [unitary political community] (bukannya etno-nasionalis) dengan ruang ekstensif untuk politik lokal. Memang benar, ruang ini sering dikuasai oleh kelompok-kelompok berkuasa. Tapi di Aceh, di mana badan donor asing telah menahan militer dan bisnis besar dan di mana kaum separatis telah mampu mensubstitusikan perjuangan bersenjata dengan partisipasi politik, desentralisasi juga memuluskan jalan bagi demokrasi yang damai dan berpotensi membuahkan hasil.

Pada saat yang sama, politik secara umum terus dimonopoli oleh elit. Tapi kelompok elit ini memiliki basis yang lebih luas, lebih terlokalisasi dan kurang termiliterisasi dibandingkan di bawah Suharto. Yang luar biasa, kebanyakan dari mereka telah menyesuaikan diri terhadap institusi-institusi baru yang seharusnya demokratis. Ini bukan berarti tidak ada pelanggaran, tapi desentralisasi dan pemilihan telah memungkinkan sektor-sektor elit Indonesia yang lebih beragam dalam memobilisasi dukungan rakyat. Tentunya, kaum elit sering memobilisasi dukungan semacam itu dengan menggunakan jaringan klientelistik mereka, kendali istimewa mereka terhadap sumber daya publik dan aliansi mereka dengan pemimpin bisnis dan komunitas. Namun, kepentingan kelompok2 elit semacam itu dalam pemilihan menjadi basis penting sekaligus kelemahan terbesar bagi demokrasi yang ada. Tanpa dukungan elit, demokrasi Indonesia tak akan bertahan; dengan dukungan elit, ia menjadi wilayah kekuasaan para "politikus busuk" yang memperkaya dan mengukuhkan diri mereka melalui korupsi.

Dalam keseluruhan sudut pandang ini, Indonesia bisa dibilang mulai menyerupai India, demokrasi paling stabil di Selatan dunia. Namun, ada satu perbedaan besar, yakni bahwa sistem partai dan pemilihan Indonesia yang monopolistik tidaklah inklusif bagi kepentingan utama rakyat kebanyakan dan juga menjadi penghalang besar bagi partisipasi para pemain independen, sehingga menghentikan masuknya organisasi2 sipil dan kerakyatan ke dalam politik terorganisir. Dalam sudut pandang ini Indonesia masih secara serius ketinggalan. Lebih lagi, kelompok2 ini tetap terhalang oleh fragmentasi dan lemahnya organisasi massa mereka sendiri. Memang benar bahwa terdapat upaya lokal yang menggembirakan untuk maju. Di Batang, di utara Jawa tengah, contohnya, organisasi2 tani lokal berkumpul dalam agenda yang lebih luas dan memenangkan sejumlah pemilihan desa. Mereka kini hendak memanjat ke tingkat wilayah. Tapi sejauh ini bukaan besar satu-satunya adalah di Aceh, berkat kemungkinan yang unik dalam membangun partai dari bawah dan meluncurkan kandidat independen setelah kesepakatan damai.

Pendeknya, meskipun sejumlah kebebasan telah didapat oleh penduduk, institusi demokratis dan kapasitas rakyat tetap lemah. Namun, banyak dari infrastruktur yang dibutuhkan telah berdiri. Dan terlepas dari kelemahan2 dan keberpihakan2 (bias) mereka, institusi2 Indonesia cukup solid untuk mengakomodasi aktor2 yang berkuasa maupun aktor alternatif. Secara teoretis, inilah garis bawahnya. Inilah alasan mengapa Indonesia dapat disebut sebagai demokrasi yang sedang tumbuh [emerging democracy].
Faktanya, menurut standar internasional di antara demokrasi2 baru, Indonesia sejauh ini cukup berhasil, terutama mengingat sejarah traumatis pemusnahan gerakan kerakyatan pada 1965-66, dan disusul oleh lebih dari tiga puluh tahun kapitalisme termiliterisasi. Kemajuan2 yang dibuat menjadi saksi dari apa yang mungkin dicapai dalam kondisi yang keras.

Perwakilan/Representasi
Jadi apa yang diperlukan untuk memanfaatkan potensi demokratis ini sebaik mungkin? Problem besarnya adalah sistem politik perwakilan dimonopoli oleh kaum elit. Monopolisasi ini dalam hal siapa saja, isu-isu apa dan kepentingan apa yang dimasukkan ke dalam sistem - dan disingkirkan darinya. Lebih lagi, di mana pun di Indonesia kita hampir tidak pernah dapat melihat perwakilan daripada kepentingan utama dan gagasan2 kelas menengah liberal, pekerja, petani, rakyat miskin, perempuan, atau aktivis HAM dan lingkungan hidup. Padahal keseluruhan kelompok2 ini jelas merupakan mayoritas penduduk.
Tidak adanya perwakilan mereka membiakkan ketidakpercayaan terhadap demokrasi. Yang paling menguatirkan lagi, kelompok2 dari kelas atas dan menengah yang tidak berhasil memenangkan pemilihan dapat dengan mudah menggunakan ketidak-puasan dengan demokrasi elit ini untuk meraih dukungan luas bagi alternatif selain demokrasi dan untuk mendorong "politik ketertiban". Para pendukung kudeta kelas menengah biasanya mengatakan bahwa mereka bertujuan mencegah kekuasaan populis yang penuh kekacauan,
dan hendak membangun prakondisi yang lebih kuat untuk demokrasi; pandangan mereka senada dengan sebagian dukungan internasional saat ini bagi 'penahapan' [sequencing] demokrasi. Indonesia telah menempuh jalan ini sebelumnya, pada tahun 1960an, dan itu menyebabkan kebangkitan rejim Orde Baru Suharto; dinamika serupa belakangan ini berjalan di Thailand.

Maka, adalah suatu keharusan bahwa organisasi2 sipil dan kerakyatan mampu meningkatkan ide dan aliansi mereka. Dengan menghubungkan komunitas dan tempat kerja, mereka dapat menjadi tantangan terhadap kendali elit atas politik. Studi2 kasus yang dilakukan oleh Demos menunjukkan, walau demikian, bahwa peningkatan menuju politik terorganisir juga dirintangi oleh kelompok sipil dan aktivis politik itu sendiri. Jalan-jalan pintas dari atas-ke-bawah [top-down] melalui ideologi2 sosialis atau lainnya, atau melalui tokoh2 karismatik seperti Megawati, terbukti tak berhasil. Namun begitu pula halnya dengan upaya2 akar rumput untuk menghubungkan isu2 spesifik seperti HAM atau perusakan lingkungan dengan keresahan masyarakat terpinggirkan. Kelompok2 kerakyatan dan sipil sebaliknya harus berkoordinasi dalam tataran politik menengah [intermediate political level] untuk mendefinisikan platform bersama dan mendukung serta mengontrol para politisi sejati.

Ini menuntut kepemimpinan dan komitmen dalam membangun demokrasi lewat mandat kerakyatan dan pertanggung-jawaban baik di dalam maupun antar organisasi, dan sehubungan dengan pemilihan. Pembangunan jaringan yang longgar atau aksi polisentris - metode2 yang digemari oleh kebanyakan aktivis Ornop dan pro-demokrasi di Indonesia - tidaklah cukup. Tapi aktivis demokrasi sepertinya tidak akan terlibat dalam perwakilan demokratis dan politik elektoral selama lebih mudah bagi mereka untuk melobi dan membangun jaringan. Mengorganisir konstituen (calon pemilih, Pen.) dan memenangkan suara mayoritas dalam pemilihan membutuhkan kerja keras. Walau begitu, itu tidak mustahil.
Rakyat Aceh membuktikan bahwa kemajuan adalah mungkin - bila sistem partai di-demonopolisasi untuk memungkinkan partai-partai lokal dan kandidat2 independen, dan bila organisasi2 sipil dan politik bersedia dan cukup terorganisir dengan baik untuk memenangkan suara dan dengan begitu mengambil keuntungan dari bukaan demokratis yang ada.